Minggu, 15 Maret 2009

Dampak Negatif Televisi pada Anak

Pendahuluan

Seiring dengan berjalannya waktu, dimana teknologi kini semakin canggih, tidak sedikit orang tua yang membiarkan anakknya diasuh oleh tayangan televisi. Ironisnya, orang tua malah merasa leluasa untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa digerecoki oleh anak-anaknya. Mereka menganggap bahwa dengan membiarkan anak menonton televisi, mampu membuat anak menjadi tenang, tidak aktif bergerak, dan orang tuapun bebas melakukan aktivitasnya. Tapi tahukah anda berapa persen unsur pendidikan yang dapat diambil dari tayangan televisi? Berikut disajikan:

Iklan à 39,74%

Sinetron à 30,97%

Berita à 15,68%

Film à 9,31%

Hiburan à 7,30%

Olahraga à 0,94%

Pendidikan à 0,07%

Dapat kita bayangkan apabila pendidikan hanya memiliki persentasi 0,07% berarti nilai positif yang dapat diambil oleh seorang anak (tanpa bimbingan orang tua) hanya sedikit sekali.

Sejauh manakah pengaruh televisi terhadap perilaku agresi anak? Sadarkah kita semua bahwa televisi merupakan masalah sosial yang harus kita selesaikan dari sekarang?

Pembahasan

Dalam suatu investigasi longitudinal, jumlah kekerasan yang ditonton di televisi pada usia 8 tahun berhubungan secara signifikan dengan keseriusan tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan sebagai seorang dewasa (Huesmann,1986 dalam Life Span Development). Dalam investigasi lain, menonton kekerasan melalui televisi dalam waktu yang cukup lama berhubungan secara signifikan dengan kemungkinan agresi pada anak laki-laki berusia 12 hingga 17 tahun (Belson,1978 dalam Life Span Development). Anak laki-laki yang cenderung menonton kekerasan dalam tayangan televisi mampu melakukan tindak kejahatan, kekerasan, agresif dalam berolahraga, senang menganncam, dan dampak negatif lainnya.

Televisi pada umumnya memang memiliki pengaruh yang negatif terhadap perkembangan anak, adapun cara yang dilakukan oleh ”si televisi” adalah dengan 1) membuat anak menjadi pelajar yang pasif; 2) sulit terlibat dari pekerjaan rumah yang pada dasarnya diusia dini anak harus diperkenalkan pada tugas-tugasnya dirumah; 3) memberi mereka agresi model kekerasan; 4)memberi pandangan yang tidak realistik pada dunia.

Albert Bandura mengemukakan bahwa proses belajar pada anak terjadi melalui peniruan (imitasi) terhadap orang lain yang dilihat oleh anak. Anak melihat perilaku orang lain dan kemudian mengadopsi perilaku tersebut. Dari teori yang dikemukakan tersebut, sudah jelaslah bahwa anak berperilaku atas dasar imitasi, mereka peniru yang ulung, mereka mampu menjadi seorang yang positif ataupun negatif tergantung dari apa yang mereka lihat dan contohkan.

Childreen see Childreen do!

W. Santrock, John. (2002). Life Span-Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga

Annisa, Eka. (2008). Dalam seminar ”Menjadi Orang Tua yang Cerdas”. Bandung: tidak diterbitkan